Beranda | Artikel
Kaidah Sebuah Perkataan Dibawa Kepada Makna Hakikinya
Rabu, 17 Oktober 2018

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Kaidah Sebuah Perkataan Dibawa Kepada Makna Hakikinya merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz DR. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. dalam pembahasan Kitab Qawaa’idul Fiqhiyyah (Mukadimah Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fikih Islam) karya Ustadz Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Kajian ini disampaikan pada 28 Muharram 1440 H / 08 Oktober 2018 M.

Status Program Kajian Kaidah Fikih

Status program kajian Kaidah Fikih: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Senin pagi, pukul 05:30 - 07:00 WIB.

Download kajian sebelumnya: Kaidah Menjadikan Suatu Perkataan Mempunyai Konsekuensi Hukum

Kajian Islam Ilmiah Tentang Kaidah Sebuah Perkataan Dibawa Kepada Makna Hakikinya – Kaidah Fikih

Pada asalnya, sebuah perkataan dibawah kepada makna hakikinya. Makna hakiki yang dimaksud adalah makna asal. Dan biasanya apabila makna hakiki disebutkan, maka yang dimaksud adalah makna asal. Dan biasanya apabila makna hakiki disebutkan tanpa ada batasannya, maka yang dimaksud adalah makna asal dalam bahasa. Sehingga yang dimaksud makna hakiki di sini adalah makna hakiki dari sisi bahasa. Kaidah ini sebagai pembatas dari kaidah yang sebelumnya kita bahas. Yaitu kaidah yang mengatakan bahwa “menjadikan sebuah perkataan mempunyai makna atau konsekuensi hukum lebih didahulukan dari pada menjadikannya tidak memiliki makna atau tidak memiliki konsekuensi hukum.”

Jika kita mendengar suatu perkataan, maka kita akan melihat bahwa perkataan tersebut bisa mempunyai dua makna. Yaitu makna hakiki atau makna majas. Kemana kita harus membawa perkataan tersebut? Inilah yang dibahas oleh kaidah ini. Karena sebuah perkataan bisa mempunyai dua kemungkinan makna, maka kita bawa kepada makna hakiki terlebih dahulu selama itu dimungkinkan. Kita tidak boleh membawa kepada makna majasnya.

Contohnya adalah jika ada orang yang mengatakan, “Aku melihat sebuah gunung di sebuah kota.” Kalimat ini memiliki dua makna. Ada makna hakiki dan makna majasnya. Makna hakikinya adalah orang itu benar-benar melihat gunung. Sebuah dataran yang tinggi. Kalimat ini juga bisa mengandung makna majas. Yaitu makna yang bukan makna asal sebuah kalimat. Bisa jadi maknanya adalah orang itu melihat orang alim disebuah kota. Kenapa orang alim itu diserupakan dengan gunung? Karena seorang alim, seakan-akan dia mempunyai pengetahuan-pengetahuan yang sangat banyak sampai pengetahuan itu sampai menggunung. Kita harus menjadikan kalimat ini memiliki konsekuensi hukum. Tapi ketika ada dua kemungkinan seperti ini dan dua-duanya memiliki konsekuensi hukum, maka yang harus kita pilih adalah makna hakikinya. Makna hakikat dari gunung adalah dataran tinggi. Sehingga kita tidak boleh memaknai kata itu dengan makna majasnya. Karena makna hakikinya masih dimungkinkan. Sangat mungkin di sebuah kota terdapat sebuah gunung.

Kapan seseorang bisa memalingkan dari makna hakikinya kepada makna majasnya? Sebagaimana kaidah ini, bahwa pada asalnya sebuah perkataan atau kalimat harus difahami secara makna hakikatnya dan tidak boleh dipalingkan kepada makna majasnya kecuali memenuhi beberapa syarat.

Pertama, ada hubungan antara makna hakiki dengan makna majasnya dalam bahasa arab. Seperti kata “singa”. Kata ini memiliki makna hakiki. Yaitu binatang buas. Inilah yang pertama kali ada dibenak kita ketika mendengar kata-kata singa. Kata singa ini juga memiliki makna majas. Yaitu seorang yang memiliki sifat sangat pemberani. Disana ada hubungan antara singa dengan orang yang pemberani. Maka dari itu boleh dalam sebuah kalimat kita memaknai kata singa dengan makna seorang yang sangat pemberani. Karena memang pada hewan singa terdapat sifat pemberani ini.

Berbeda kalau tidak ada hubungan antara makna hakiki dengan makna majas. Maka kita tidak boleh memaknai kata tersebut dengan makna majas yang diinginkan itu. Contohnya adalah penafsiran suatu kelompok untuk firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menjelaskan tentang peristiwa terbunuhnya seseorang kaum Bani Israil. Kemudian, mereka tidak tahu siapa yang membunuh orang tersebut. Akhirnya mereka meminta kepada Nabi Musa agar mengusut masalah ini. Dan Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa untuk memerintahkan kepada kaumnya agar mereka menyembelih sapi betina. Orang-orang Batiniyyah ar-Rafidzah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sapi betina di sini bukan makna hakiki. Tapi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ini adalah penafsiran yang batil. Apa hubungannya antara sapi betina dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha?

Contoh lain adalah firman Allah subhanallahu wa ta’ala yang menjelaskan tentang sifat-sifatNya.

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ ﴿٥﴾

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha[20]: 5)

Istawa’ pada ayat ini bermakna “berada di atas”. Ada kelompok-kelompok yang menyimpang didalam Islam yang menafsiri ayat ini dengan Istaula atau menguasai. Padahal tidak ada hubungan makna dalam bahasa arab antara berada di atas dengan menguasai. Sehingga pemaknaan seperti ini tidak diperbolehkan. Ini adalah pemaknaan yang menyimpang dan tidak diketahui bangsa Arab sebagai pemilik bahasa arab. Sehingga tidak boleh kita memaknai Istawa’ dengan menguasai. Dan dari segi makna pun salah. Kita tahu bahwa Allah menguasai ‘Arsy dan menguasai yang lainnya. Kalau dikhususkan dengan menguasai ‘Arsynya saja, maka maknanya menjadi tidak benar. Allah tidak hanya menguasai ‘Arsynya saja. Inilah yang difahami oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama dari generasi salaf dan para ulama setelahnya yang mengikuti pemahaman genarasi salaf.

Kedua, apabila kalimat tersebut tidak mungkin dibawa kepada makna hakikinya. Sehingga kita harus memaknai dengan makna majasnya, maka kata-kata tersebut menjadi tidak memiliki makna atau tidak mempunyai konsekuensi hukum.

Misalnya kalimat, “Aku melihat singa ditengah peperangan. Dia berada di atas kuda dan memegang pedang.” Kalimat ini tidak bisa kita maknai dengan makna hakikinya. Karena tidak terbayang dalam fikiran kita. Ada singa yang menunggang kuda dan memegang pedang. Kalau kita harus memaknai dengna kata-kata hakikinya, maka kata-kata ini seakan tidak ada. Ketika keadaannya demikian, maka kita harus berusaha untuk menjadikan kata ini mempunyai makna. Meskipun kita harus membaha kepada makna majasnya.

Lalu apalagi syaratnya?

Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Kaidah Sebuah Perkataan Dibawa Kepada Makna Hakikinya – Kaidah Fikih


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/44908-kaidah-sebuah-perkataan-dibawa-kepada-makna-hakikinya/